FENOMENA FANTASI INCEST: TINJAUAN HUKUM PIDANA SERTA RISIKO KESEHATAN REPRODUKSI DAN MENTAL


Purwokerto, 21 Juni 2025 — Universitas Harapan Bangsa Purwokerto menjadi tempat kolaborasi ilmiah dalam kegiatan Student Lawyear Club (UKM Komunitas Kajian dan Penulisan) dengan (Himpunan Mahasiswa Sarjana Keperawatan), yang mengangkat isu sensitif namun krusial yaitu Fenomena Fantasi Incest: Kritik Hukum Pidana dan Tinjauan Risiko Kesehatan Reproduksi serta Mental. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu, 21 Juni 2025, di Kampus B Universitas Harapan Bangsa.

Acara ini menghadirkan dua narasumber dari latar belakang keilmuan berbeda. Dari sisi hukum, Apitta Fitria Rahmawati, S.H., M.H., menyampaikan urgensi reformasi hukum terhadap maraknya konten fantasi inses di platform digital merujuk pada imajinasi seksual yang menggambarkan hubungan antar anggota keluarga kandung, yang disebarluaskan melalui media seperti fanfiction, ilustrasi, video animasi, dan roleplay di forum-forum online. Fenomena ini berkembang pesat karena didukung oleh platform digital seperti Reddit, Wattpad, dan Telegram yang algoritmanya justru memperkuat eksposur terhadap konten ekstrem, sementara pengawasan dan regulasi hukum masih sangat minim. 

Secara sosial dan psikologis, paparan berulang terhadap fantasi incest dapat mendistorsi persepsi moralitas dan norma kekeluargaan, serta berpotensi mendorong perilaku menyimpang di dunia nyata. Dari sisi hukum pidana, tantangan utamanya adalah ketidakjelasan batas antara fiksi dan tindakan nyata, karena hukum pidana konvensional mensyaratkan adanya korban dan asas legalitas, sementara konten fantasi tidak selalu melibatkan korban riil. 

Ketiadaan regulasi khusus menyebabkan dilema antara risiko overkriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan underregulasi yang bisa menormalisasi penyimpangan. Penegakan hukum di ruang siber juga sulit dilakukan akibat anonimitas pengguna dan dominasi platform asing. Secara hukum, inses merupakan tindak pidana di hampir semua negara, dengan sanksi berat termasuk penjara dan pencabutan hak asuh. Oleh karena itu, fenomena ini bukan hanya menjadi isu kesehatan, tetapi juga problem sosial dan hukum yang mendesak untuk ditangani secara komprehensif. Hukum pidana harus diarahkan tidak hanya sebagai alat represif, tetapi juga preventif dalam melindungi moral publik dan anak di era digital ini. 


Dari perspektif kesehatan, Abdurrahman Shiddiq Al Harrik menguraikan dampak medis dan psikologis dari inses. Ia menjelaskan bahwa hubungan seksual antar anggota keluarga tidak hanya melanggar norma sosial dan agama, tetapi juga menimbulkan risiko serius bagi kesehatan reproduksi dan mental korban. Fenomena ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari gangguan psikologis seperti gangguan mental dan trauma akibat kekerasan dalam rumah tangga, hingga faktor sosial seperti kemiskinan, pendidikan rendah, serta lingkungan keluarga yang disfungsional dan terisolasi.

Dari sisi kesehatan reproduksi, inses meningkatkan risiko mutasi genetik resesif yang dapat menyebabkan anak lahir dengan berbagai kelainan, seperti cacat bawaan, gangguan jantung, bibir sumbing, serta penyakit metabolik dan imunodefisiensi. Selain itu, anak hasil inses juga lebih rentan terhadap kanker, gangguan autoimun, dan infertilitas. Dari aspek kesehatan mental, korban inses sering mengalami PTSD, depresi, kecemasan, serta gangguan kepribadian dan hubungan sosial. Mereka juga menghadapi stigma sosial dan kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di kemudian hari. Beberapa korban bahkan mengalami gangguan seksual seperti disfungsi seksual atau kecenderungan parafilia. 


Kegiatan ini tidak hanya menyajikan paparan materi, tetapi juga sesi adu gagasan dari lima kelompok mahasiswa lintas disiplin, yang memberikan solusi interdisipliner terhadap persoalan ini. Sesi ditutup dengan tanya jawab yang interaktif, menunjukkan antusiasme peserta dalam membedah fenomena dari berbagai aspek.

Kolaborasi ini menegaskan pentingnya pendekatan lintas ilmu dalam menyikapi fenomena sosial kontemporer yang kompleks, terutama ketika berkaitan dengan isu perlindungan anak, kesehatan mental, dan regulasi media digital. Para narasumber sepakat bahwa sinergi antara hukum, kesehatan, dan pendidikan sangat penting untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman dan bermoral.   

Posting Komentar

0 Komentar