MENGANGKAT IDENTITAS, MENJAGA WARISAN: PERLINDUNGAN FOLKLORE BANYUMAS DALAM PERSPEKTIF HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL



Purwokerto, 19 April 2025 - Komunitas Kajian dan Penulisan telah mengadakan Seminar yang bertemakan "Mengangkat Identitas, Menjaga Warisan: Perlindungan Hukum Folklore Banyumas dalam Perspektif HKI", dengan menghadirkan 2 Narasumber yang sangat luar biasa yaitu, Maya Ruhtiani, S.H., M.H., LL.M dan Rianto Lengger Lanang. Maya Ruhtiani, S.H., M.H., LL.M merupakan Akademisi sedangkan Rianto Lengger Lanang merupakan Seniman Banyumas. Seminar ini bertujuan untuk menelaah sejauh mana eksistensi seni tari Lengger, khususnya Lengger Lanang dalam lintas perspektif budaya, sejarah, dan politik identitas, serta bagaimana seni tradisi ini bisa menjadikan wadah ekspresi sekaligus perlawanan terhadap dominasi budaya dan konstruksi gender konvensional. Selain itu, acara ini juga bertujuan untuk membedah landasan hukum serta tantangan perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional folklore khususnya dalam konteks Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan menelaah sejauh mana negara turut serta dalam menjaga hak komunitas budaya atas warisan mereka.

Pemaparan materi pertama oleh Rianto menjelaskan bahwa Lengger adalah ekspresi estetis masyarakat Banyumas yang berasal dari tradisi agraris sebagai bagian dari ritus kesuburan. Lengger yang awalnya ditarikan oleh laki-laki, mengalami metamorfosa baik dari segi penari, iringan musik, maupun makna sosialnya. Lengger Lanang adalah laki-laki yang menari dengan dandanan perempuan menjadi titik kritik dan kekuatan tersendiri dalam dinamika sosial budaya. Salah satu aspek utama yang diangkat dalam diskusi ini adalah dimensi gender dalam pertunjukan Lengger. Rianto menyoroti bagaimana tubuh penari Lengger Lanang menjadi ruang tafsir antara maskulinitas dan femininitas. “Lengger tidak hanya menari, tetapi menjadi bentuk narasi tubuh yang penuh makna—perpaduan spiritualitas, ekspresi seni, dan negosiasi identitas,” ujar Rianto.


Diskusi juga menyoroti bahwa dalam kultur patriarkis, laki-laki memiliki kebebasan lebih dalam ruang publik, termasuk panggung seni. Namun, ketika laki-laki menampilkan sisi Feminin, maka muncul resistensi sosial. Rianto menyebut bahwa hal ini membuka ruang refleksi tentang maskulinitas yang cair dan bisa dinegosiasikan. "Dalam tarian Lengger, tubuh laki-laki menjadi ruang pertemuan antara kekuatan dan kelembutan, antara kodrat dan ekspresi," tegasnya.

"Kita harus melihat Lengger sebagai seni yang dinamis. Ia tidak mati, tetapi terus bergerak, mencari bentuk, mencari makna. dalam tubuh penari Lengger, terdapat sejarah, perlawanan, dan harapan," ungkap Rianto.

Maya Ruhtiani dalam pemaparan materi kedua mengulas bagaimana folklore sebagai ekspresi budaya tradisional yang meliputi cerita rakyat, tarian, lagu, makanan daerah, hingga adat istiadat yang telah menjadi aset budaya yang kerap dieksploitasi secara tidak etis. Banyak kasus menunjukkan bahwa elemen budaya ini digunakan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan komersial tanpa izin atau pengakuan terhadap komunitas asalnya, bahkan tidak jarang diklaim sebagai milik budaya negara lain.


Selain itu, dijelaskan juga bahwasannya sistem HKI konvensional seringkali tidak mampu mengakomodasi karakteristik folklore yang bersifat anonim, komunal, dan diwariskan lintas generasi. Sistem pendaftaran HKI yang mensyaratkan pencipta individu serta jangka waktu perlindungan menjadi hambatan utama. Hal ini tentu memunculkan perlu adanya pendekatan hukum yang khusus dan berkeadilan. Indonesia sendiri telah merespons isu ini melalui Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menetapkan bahwa ekspresi budaya tradisional dilindungi sebagai hak cipta negara. Negara bertindak sebagai pemegang hak, dan perlindungan ini tidak dibatasi oleh waktu. Dalam tingkat internasional, WIPO dan UNESCO juga turut berupaya menyediakan kerangka perlindungan global meskipun masih belum mengikat secara hukum.

Kesimpulan dari seminar ini bahwa Metamorfosa Lengger menarasikan adanya nilai-nilai kemanusiaan masa lalu dan masa kini untuk meningkatkan seni tradisi lengger di masa depan. Dalam karya ini, Rianto mengeksplorasi tari lengger dari Banyumas yang mencerminkan ruang antara gender, adat, dan agama serta menghubungkan tradisi Sulawesi dengan pengetahuan embodied sebagai penari cross-gender. Tak hanya itu, Tarian Lengger diharapkan mampu mengajak masyarakat untuk merenungi ulang identitas, keberagaman, dan pentingnya pluralisme budaya sebagai pondasi kehidupan bermasyarakat yang berkeadilan. Perlindungan hukum terhadap folklore juga penting untuk menjaga warisan budaya agar tidak dieksploitasi tanpa izin. Sistem HKI perlu disesuaikan dengan karakteristik komunal dan lintas generasi dari ekspresi budaya tradisional. Peran aktif negara dan masyarakat menjadi kunci utama dalam memastikan perlindungan yang adil dan berkelanjutan di tengah arus globalisasi.

Posting Komentar

0 Komentar