BEDAH KASUS HARVEY MOEIS – APAKAH BENAR ADA KETIDAKADILAN DALAM PUTUSAN HARVEY MOEIS?




Purwokerto, 7 Februari 2025 – Komunitas Kajian dan Penulisan menggelar diskusi daring bertajuk Bedah Kasus Harvey Moeis, dengan menghadirkan Adhitya Ariwirawan, S.H., M.H., sebagai narasumber utama. Kajian ini bertujuan untuk membedah Legal Reasoning Majelis Hakim dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang melibatkan Harvey Moeis, serta menelaah apakah benar ada ketidakadilan dalam putusan Harvey Moeis?

Dalam pemaparannya, Adhitya Ariwirawan mengulas aspek keadilan terhadap Harvey Moeis. Berdasarkan analisisnya, putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman selama 6,5 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar yang dinilai sesuai dengan fakta-fakta hukum.

Namun, salah satu pertanyaan besar dalam kajian ini adalah pasal yang digunakan dalam dakwaan terhadap Harvey Moeis. Jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut berdasarkan perhitungan Rp 271 triliun, maka seharusnya dakwaan yang digunakan adalah pasal dalam UU Lingkungan Hidup, bukan pasal Tindak Pidana Korupsi. Berlandaskan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menggunakan konsep potential loss, yaitu potensi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan berdasarkan perhitungan ahli. Dalam kasus ini, perhitungan ahli lingkungan dari IPB, Bambang Hero Saharjo, menyebutkan bahwa potensi kerugian negara mencapai Rp 271 triliun.

Majelis Hakim mempertimbangkan adanya Putusan MK terkait Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materiil), sehingga unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tindak pidana korupsi.

Bahwa berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kasus Harvey Moeis menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar lebih dari Rp 300 triliun. Berdasarkan jumlah tersebut, Harvey Moeis bersama Saksi Helena terbukti memperkaya diri sebesar Rp 420 miliar. Dalam putusan pengadilan, uang pengganti dibagi secara proporsional dan objektif antara kedua belah pihak, dengan masing-masing dikenakan kewajiban membayar Rp 210 miliar.

Karena terdapat aset milik Terdakwa yang telah dilakukan penyitaan, maka selanjutnya aset tersebut dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai pengganti kerugian keuangan negara. Aset tersebut akan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila hasil pelelangan melebihi jumlah uang pengganti tersebut, maka kelebihan tersebut akan dikembalikan kepada Terpidana.

Lalu bagaimana dengan keadilan dalam putusan hakim? Putusan hakim merupakan puncak dari penyelesaian konflik hukum, di mana kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan menjadi elemen utama yang sering kali saling bertentangan. Dalam menghadapi konflik antara kepastian hukum dan keadilan, hakim harus mengutamakan kepastian hukum demi stabilitas dan prediktabilitas, kecuali jika ketidakadilan yang terjadi tidak dapat ditoleransi atau aturan hukum dibuat tanpa unsur keadilan.

Meskipun penegakan hukum harus memberikan manfaat bagi semua pihak, nilai kemanfaatan hukum bergantung pada moralitas masyarakat. Kesadaran hukum yang tinggi akan menciptakan masyarakat yang tertib dan memperkuat kepercayaan terhadap sistem hukum. Namun, fiksi hukum menyebabkan adanya kesenjangan pemahaman hukum yang dapat memengaruhi argumentasi hukum dalam praktiknya.

“Keadilan selalu bersifat dinamis dan subyektif. Tergantung dari sudut mana melihatnya. Praktisnya dalam setiap tahapan ada upaya hukum untuk menguji apakah keadilan sudah dihadirkan atau belum. Perkara ini belum final dan setelah incrach pun masih ada potensi ancaman pidana lain yang akan dikenakan, seperti tindak pidana lingkungan hidup. Jadi menurut saya, ditunggu saja jangan reaktif dalam menyimpulkan. Hukum adalah seni menginterpretasi. Jangan menjadi mahasiswa yang pesimis dan reaktif, tetapi jadilah mahasiswa yang idealis dan tetap realistis. Idealisme bersinar saat kekuasaan dipegang, tetapi jalan menuju kekuasaan bertumpu pada hal-hal yang realistis,” pungkas Adhitya.

Kesimpulan yang disampaikan oleh narasumber dalam kajian ini bahwa fakta yang bersifat netral, tidak bisa menjamin bahwa pihak yang kalah pasti salah dan pihak yang menang pasti benar. Hal ini dikarenakan hukum adalah seni menginterpretasi. Oleh karena itu, perbedaan perspektif yang membaca akan menimbulkan hasil berbeda. Itulah sebabnya tujuan penegakkan hukum, selain menegakkan keadilan juga memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum. Yaitu keadilan di dalam penegakan hukum, kemanfaatan bagi subyek hukum, dan kepastian hukum demi konsistensi dalam penegakan hukum.



Posting Komentar

0 Komentar