HAK PEREMPUAN UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukkan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Isu kesetaraan gender muncul seiring meningkatnya kesadaran publik bahwa telah terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bersama yakni ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang diterima perempuan. Istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan. Ketidakadilan gender kerap terjadi pada individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Ketidakadilan gender kerap dikategorikan dalam lima bentuk yaitu:

  1. Marginalisasi (Peminggiran). Marginalisasi berarti perempuan tidak dapat berkontribusi dalam suatu aspek atau bidang pekerjaan tertentu karena stereotype tertentu yang melekat cukup lama pada perempuan. Contoh: Pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan, minim kontribusi perempuan karena perempuan dianggap lemah secara fisik.
  2. Violence (Kekerasan). Violence terjadi karena perempuan atau laki-laki dianggap lemah dan ditundukkan atau juga bisa terjadi karena adanya narasi tubuh perempuan sebagai subjek seksual. Contoh: Dipegang pada bagian tubuh tertentu tanpa persetujuan, dipukul, mengucapkan kata-kata kotor, hinaan, dan ancaman.
  3. Stereotype (Pelabelan). Stereotype merupakan pelabelan yang melekat pada jenis kelamin dan berhubungan dengan fungsi dan perannya, yang tidak mengandung kebenaran mutlak. Contoh: Perempuan adalah makhluk yang lemah, cengeng, perasa, sensitif, sedangkan laki-laki dianggap sebagai makhluk kuat, galak, tidak rapi, dan tidak boleh menangis.
  4. Double Burden (Beban Ganda). Double Burden berarti mengerjakan tanggung jawab secara berlebihan, yang seharusnya dapat dilakukan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Contoh: Seorang istri harus dapat melakukan pekerjaan rumah sementara istri juga bekerja di luar rumah sedangkan suami hanya bekerja saja tanpa membantu mengerjakan tugas rumah tangga.
  5. Diskriminasi. Diskriminasi merupakan tindakan pembedaan karena jenis kelamin, suku, agama, dan ras. Contoh: Perempuan tidak harus memiliki pendidikan yang tinggi sedangkan laki-laki harus memiliki pendidikan yang tinggi.

Di Indonesia, menurut data Komnas Perempuan, dalam 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 792%. Kasus kekerasan terhadap perempuan juga meningkat 63% selama pandemic COVID-19, dengan mayoritas korbannya perempuan dewasa korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebesar 59,82%. Selain itu, menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2021, angka perkawinan anak meningkat sebesar 3 kali lipat dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik menjadi 64.211 kasus pada tahun 2020. Kasus kekerasan berbasis gender siber (online atau daring) yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan juga meningkat dari 241 kasus pada tahun 2019 menjadi 940 kasus di tahun 2020. Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang lebih dirugikan daripada laki-laki. Berikut adalah isi-isu utama atau sejumlah contoh ketimpangan gender di berbagai sektor yang masih perlu diatasi:

  1. Dalam sektor politik. Kita sebagai anak hukum tentu sering mendengar “affirmative action”. Affirmative action adalah kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Dalam konteks politik, affirmative action dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di Lembaga legislatif lebih representatif. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif telah mengakomodasi affirmative action bagi perempuan. Diantaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legisatif minimal harus ada 30% perempuan. Namun sayangnya sampai saat ini implementasi mengenai ketentuan tersebut belum terlaksana dengan baik.
  2. Dalam sektor ekonomi. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa ketika perempuan bekerja itu tanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga saja. Sosok perempuan seringkali dibebankan dengan perspektif masyarakat yang mana peran perempuan itu hanya sebagai ibu rumah tangga. Adanya segmentasi jenis kelamin dalam dunia kerja yang bersifat diskriminatif atas dasar gender membuat perempuan terkonsentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian yang dimana pekerjaan-pekerjaan tersebut berstatus lebih rendah daripada laki-laki. Tentu saja ini menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.
  3. Dalam sektor Pendidikan. Dalam dunia pendidikan, masyarakat memiliki persepsi bahwa perempuan dan laki-laki berbeda sehingga ada bidang-bidang tertentu yang hanya cocok untuk perempuan dan bidang lainnya untuk laki-laki. Tidak jarang kita memandang sebelah mata mengenai laki-laki yang bergelut di bidang tata boga atau memandang aneh perempuan yang tertarik pada bidang Teknik. Meninjau asumsi-asumsi tersebut, dapat dikatakan bahwa ketidaksetaraan gender berasal dari budaya khususnya di masyarakat patriarki. Dengan demikian, upaya merekonstruksi pola pikir maupun sudut pandang terhadap isu gender harus dilakukan salah satunya melalui jalur Pendidikan.

Ketidaksetaraan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan di seluruh dunia. Sifat dan tingkat kesenjangan sangat bervariasi di berbagai wilayah atau negara. Tidak ada satu wilayah pun didunia dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas politik, ekonomi dan pendidikan terjadi dimana-mana. Perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi. Namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

 

Posting Komentar

0 Komentar